Penerbit : Wortel Book Publishing
Tahun : 2010
Halaman : 457
“Mimpi itu emang kayak gula-gula kapas, manis dan penuh warna, lalu berakhir di klinik gigi”...itulah sebait ungkapan kocak yang bisa ditemukan di novel genre remaja dari penulis Olivia Elena Hakim yang bertajuk Pergi.
Pergi pada dasarnya menawarkan tema sederhana yang akrab dialami remaja pada umumnya. Pencarian jati diri. Namun penulis mengemasnya dengan lelucon khas remaja seperti kita berkomunikasi dengan teman sendiri.
Tokoh utamanya adalah Kezia yang dikisahkan akan pergi ke desa Purbalingga untuk menjauhkan diri dari masalahnya, seorang cowo bernama Radith. Di sini penulis mulai membuat pembaca bertanya-tanya sebesar apa masalah Kezia dengan pacarnya sehingga harus mengambil cuti setahun, tidak lagi dipercayai keluarganya, dan akhirnya harus tinggal sementara di pedesaan Purbalingga dengan keluarga tantenya.
Di Purbalingga inilah Kezia berharap dapat menenangkan diri dan jauh dari masalahnya. Namun, seperti sudah ditebak ceritanya, di desa ini justru Kezia bertemu Elang, cowo menakutkan yang akhirnya justru suka padanya.
Kezia juga digambarkan karakter yang rapuh dengan kebiasaaanya yang menyakiti diri sendiri namun juga bisa menjadi tegar ketika dihadapkan dengan masalahnya. Tidak hanya konflik Kezia novel ini juga mengisahkan konflik yang dihadapi sahabatnya, Zaskia juga dengan pacarnya, yang terpaut umur 10 tahun hingga perceraian kedua orang tuanya dan ‘gula-gula’ ayahnya.
Secara keseluruhan cerita dikemas ringan namun tetap menyisipkan kejutan-kejutan kecil yang baru terungkap di halaman-halaman terakhir. Sebesar apa masalahnya, bagaimana dia berharap dapat mengulang waktu agar tidak melakukan apa yang sudah dilakukan, dan penyesalan yang datang belakangan.
Saya suka dengan cara penulis mengakhiri ceritanya ketika tokoh Elang akhirnya tidak jadi bersama Kezia untuk saat itu karena jika terlalu happy ending akan merusak realita yang ada dalam novel fiksi ini. Happy ending tidak secepat itu datang di kehidupan nyata. Dimana ketika ada masalah akan ada pahlawan yang segera datang mendampingi sampai akhir.
Happy ending adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan tidak mudah dan lebih kepada persepsi individu memandang apa yang disebut sebagai happy ending. “Happy ending is a state of mind”, tegas Kezia. Akhir yang bahagia tergantung dari persepsi kita melihat hidup itu sendiri. Karena hidup terlalu berharga untuk disia-siakan untuk mengejar kebahagiaan besar sedangkan banyak kebahagian-kebahagiaan kecil sederhana yang bisa kita temui sehari-hari. Seberapa menyesalnya kamu akan masa lalu hidup terus berjalan tanpa menunggu masalah kamu selesai.
Pergi adalah karya teman satu kampus saya di London School of Public Relations – Jakarta. Anggota Newsclub yang digawangi Dosen Joe Harrianto dan sama-sama nyemplung di dunia media. Saya kenal Oliv justru bukan di kampus melainkan beberapa tahun setelah lulus kuliah karena mengerjakan project yang sama yaitu penulisan buku Jadilah Rajawali Negara, sebuah biografi almarhumah Ibu Catharina Dwi Astuti Pandjaitan, istri Letnan Jenderal TNI Hotmangaraja Pandjaitan.
Oliv, seperti biasa saya menyapanya, memasukkan sedikit banyak pengalaman pribadi di kampus dalam novel ini karena tentu saya merasa lebih terhubung dengan cerita ini dimana diselipkan tempat Gang Senggol, tempat makan di gang sebelah Gedung Wisma Dharmala dimana Kampus A LSPR berlokasi. Kemudian ada nama-nama dosen Silih, Profesor Joe dan serta kesamaan jurusan yang diambil Kezia yaitu komunikasi.
Sebagai penulis pemula dengan genre teenlit seperti ini saya rasa Oliv sudah berani mengeksplor plot yang agak sedikit berbeda daripada novel teenlit lainnya. Ketika yang lain mengeksplor lebih banyak hubungan cinta remaja, novel ini menceritakan akibat dari hubungan itu. Saya berharap semoga masih akan ada karya Oliv selanjutnya. Thumbs up Oliv.
Pergi pada dasarnya menawarkan tema sederhana yang akrab dialami remaja pada umumnya. Pencarian jati diri. Namun penulis mengemasnya dengan lelucon khas remaja seperti kita berkomunikasi dengan teman sendiri.
Tokoh utamanya adalah Kezia yang dikisahkan akan pergi ke desa Purbalingga untuk menjauhkan diri dari masalahnya, seorang cowo bernama Radith. Di sini penulis mulai membuat pembaca bertanya-tanya sebesar apa masalah Kezia dengan pacarnya sehingga harus mengambil cuti setahun, tidak lagi dipercayai keluarganya, dan akhirnya harus tinggal sementara di pedesaan Purbalingga dengan keluarga tantenya.
Di Purbalingga inilah Kezia berharap dapat menenangkan diri dan jauh dari masalahnya. Namun, seperti sudah ditebak ceritanya, di desa ini justru Kezia bertemu Elang, cowo menakutkan yang akhirnya justru suka padanya.
Kezia juga digambarkan karakter yang rapuh dengan kebiasaaanya yang menyakiti diri sendiri namun juga bisa menjadi tegar ketika dihadapkan dengan masalahnya. Tidak hanya konflik Kezia novel ini juga mengisahkan konflik yang dihadapi sahabatnya, Zaskia juga dengan pacarnya, yang terpaut umur 10 tahun hingga perceraian kedua orang tuanya dan ‘gula-gula’ ayahnya.
Secara keseluruhan cerita dikemas ringan namun tetap menyisipkan kejutan-kejutan kecil yang baru terungkap di halaman-halaman terakhir. Sebesar apa masalahnya, bagaimana dia berharap dapat mengulang waktu agar tidak melakukan apa yang sudah dilakukan, dan penyesalan yang datang belakangan.
Saya suka dengan cara penulis mengakhiri ceritanya ketika tokoh Elang akhirnya tidak jadi bersama Kezia untuk saat itu karena jika terlalu happy ending akan merusak realita yang ada dalam novel fiksi ini. Happy ending tidak secepat itu datang di kehidupan nyata. Dimana ketika ada masalah akan ada pahlawan yang segera datang mendampingi sampai akhir.
Happy ending adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan tidak mudah dan lebih kepada persepsi individu memandang apa yang disebut sebagai happy ending. “Happy ending is a state of mind”, tegas Kezia. Akhir yang bahagia tergantung dari persepsi kita melihat hidup itu sendiri. Karena hidup terlalu berharga untuk disia-siakan untuk mengejar kebahagiaan besar sedangkan banyak kebahagian-kebahagiaan kecil sederhana yang bisa kita temui sehari-hari. Seberapa menyesalnya kamu akan masa lalu hidup terus berjalan tanpa menunggu masalah kamu selesai.
Pergi adalah karya teman satu kampus saya di London School of Public Relations – Jakarta. Anggota Newsclub yang digawangi Dosen Joe Harrianto dan sama-sama nyemplung di dunia media. Saya kenal Oliv justru bukan di kampus melainkan beberapa tahun setelah lulus kuliah karena mengerjakan project yang sama yaitu penulisan buku Jadilah Rajawali Negara, sebuah biografi almarhumah Ibu Catharina Dwi Astuti Pandjaitan, istri Letnan Jenderal TNI Hotmangaraja Pandjaitan.
Oliv, seperti biasa saya menyapanya, memasukkan sedikit banyak pengalaman pribadi di kampus dalam novel ini karena tentu saya merasa lebih terhubung dengan cerita ini dimana diselipkan tempat Gang Senggol, tempat makan di gang sebelah Gedung Wisma Dharmala dimana Kampus A LSPR berlokasi. Kemudian ada nama-nama dosen Silih, Profesor Joe dan serta kesamaan jurusan yang diambil Kezia yaitu komunikasi.
Sebagai penulis pemula dengan genre teenlit seperti ini saya rasa Oliv sudah berani mengeksplor plot yang agak sedikit berbeda daripada novel teenlit lainnya. Ketika yang lain mengeksplor lebih banyak hubungan cinta remaja, novel ini menceritakan akibat dari hubungan itu. Saya berharap semoga masih akan ada karya Oliv selanjutnya. Thumbs up Oliv.
Kelebihan dan kekurangan dari novel tersebut
ReplyDelete